Kalangan
Industri Asuransi
JAKARTA -- Kalangan
industri asuransi menilai besaran pungutan untuk iuran Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) sebesar 0,06% dari aset lembaga keuangan kemahalan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Benny Waworuntu menilai besaran iuran persentase 0,06% dari aset tergolong kemahalan.
"Kalau lihat angka itu tanpa membaca detailnya saya kira kemahalan," ujarnya, Kamis (21/11).
Benny melanjutkan penghitungan besaran pungutan OJK seharusnya tidak hanya menggunakan pertimbangan sisi aset saja, melainkan juga dikaitkan dengan revenue lembaga keuangan pada tahun tersebut.
"Karena biarpun aset besar, tetapi bisa saja pendapatan bisnisnya mungkin sedang turun," katanya.
Hal senada dikemukakan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Hary Prasetyo. Menurut dia, besaran persentase pungutan OJK sebaiknya juga mempertimbangkan net income lembaga keuangan.
"Kalau [penghitungan] dari aset, kan jadi terasa besar apabila performance atau net profit atau bisnis sedang tidak bagus, ia harus bayar biaya yang mungkin lebih tinggi dari biaya lainnya. Kalau dari net income kan akan sangat tergantung performance. Jadi lebih fair," ujarnya.
Terkait besaran pungutan, lanjut Hary, berapa pun besarannya tetap akan menjadi pertimbangan sisi finansial para pelaku usaha. Apalagi pungutan OJK merupakan hal baru yang terjadi di industri keuangan.
"Jika banyak manfaat yang akan diperoleh, saya rasa tidak ada masalah jika harus dikeluarkan dalam jumlah tertentu," katanya.
Pungutan akan terasa mahal, ujarnya, karena selama ini industri belum pernah dipungut biaya untuk sesuatu yang memang sudah menjadi hak industri seperti pengawasan.
"Tentunya kami mengharapkan ada added value atas biaya tersebut," katanya.
Sementara itu, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) belum berani memberikan tanggapan terkait pungutan OJK sebesar 0,06% dari aset.
"Saya harus simulasi dulu pada anggota AAUI," ujar Direktur Eksekutif AAUI Julian Noor.
Sementara itu, Ketua Bidang Statistik AAUI Budi Herawan menilai OJK sebaiknya meminta masukan dari pelaku usaha terkait besaran iuran serta dasar perhitungan iuran yang pas bagi seluruh lembaga keuangan.
Kamis (22/11), Otoritas Jasa Keuangan melakukan sosialisasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pungutan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam sosialisasi tersebut terungkap bahwa OJK menetapkan pungutan 0,06% dari aset lembaga keuangan dan akan diberlakukan secara bertahap mulai tahun depan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Benny Waworuntu menilai besaran iuran persentase 0,06% dari aset tergolong kemahalan.
"Kalau lihat angka itu tanpa membaca detailnya saya kira kemahalan," ujarnya, Kamis (21/11).
Benny melanjutkan penghitungan besaran pungutan OJK seharusnya tidak hanya menggunakan pertimbangan sisi aset saja, melainkan juga dikaitkan dengan revenue lembaga keuangan pada tahun tersebut.
"Karena biarpun aset besar, tetapi bisa saja pendapatan bisnisnya mungkin sedang turun," katanya.
Hal senada dikemukakan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Hary Prasetyo. Menurut dia, besaran persentase pungutan OJK sebaiknya juga mempertimbangkan net income lembaga keuangan.
"Kalau [penghitungan] dari aset, kan jadi terasa besar apabila performance atau net profit atau bisnis sedang tidak bagus, ia harus bayar biaya yang mungkin lebih tinggi dari biaya lainnya. Kalau dari net income kan akan sangat tergantung performance. Jadi lebih fair," ujarnya.
Terkait besaran pungutan, lanjut Hary, berapa pun besarannya tetap akan menjadi pertimbangan sisi finansial para pelaku usaha. Apalagi pungutan OJK merupakan hal baru yang terjadi di industri keuangan.
"Jika banyak manfaat yang akan diperoleh, saya rasa tidak ada masalah jika harus dikeluarkan dalam jumlah tertentu," katanya.
Pungutan akan terasa mahal, ujarnya, karena selama ini industri belum pernah dipungut biaya untuk sesuatu yang memang sudah menjadi hak industri seperti pengawasan.
"Tentunya kami mengharapkan ada added value atas biaya tersebut," katanya.
Sementara itu, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) belum berani memberikan tanggapan terkait pungutan OJK sebesar 0,06% dari aset.
"Saya harus simulasi dulu pada anggota AAUI," ujar Direktur Eksekutif AAUI Julian Noor.
Sementara itu, Ketua Bidang Statistik AAUI Budi Herawan menilai OJK sebaiknya meminta masukan dari pelaku usaha terkait besaran iuran serta dasar perhitungan iuran yang pas bagi seluruh lembaga keuangan.
Kamis (22/11), Otoritas Jasa Keuangan melakukan sosialisasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pungutan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam sosialisasi tersebut terungkap bahwa OJK menetapkan pungutan 0,06% dari aset lembaga keuangan dan akan diberlakukan secara bertahap mulai tahun depan.
Asosiasi Perusahaan Efek
Indonesia (APEI)
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia
(APEI) keberatan terhadap rencana Otoritas Jasa Keuangan memungut iuran dari
perusahaan efek. Sebab, selama ini perusahaan efek telah menyetor sejumlah iuran
tertentu pada regulator bursa, yaitu Bursa Efek Indonesia (BEI).
"Jangan ada pungutan berganda. Dari satu pintu saja, yaitu BEI," ujar Ketua APEI , Lily Widjaja, Senin, 4 Februari 2013.
Lily memaparkan, selama ini perusahaan efek menyetor pada BEI untuk fee transaksi sebesar 0,03 persen dan jaminan 0,01 dari jumlah transaksi yang dilangsungkan. Selain pungutan ganda yang mungkin akan dikenakan pada perusahaan efek, Asosiasi juga keberatan dengan pungutan yang dikenakan tidak dengan dasar aset.
Pungutan berdasarkan transaksi dan aksi korporasi ini juga diminta untuk diturunkan. "Saya harap iuran untuk perusahaan efek malah tidak diberlakukan," ia menegaskan.
Seperti diketahui, OJK menetapkan besaran pungutan untuk pendapatan usaha dari lembaga keuangan sebesar 7,5 sampai 15 persen. Tak hanya bursa, pungutan ini juga dikenakan kepada penjamin emisi efek dan perantara pedagang efek yang mengadministrasikan rekening efek nasabah, yaitu sebesar 0,015-0,03 persen dari aset.
Manajer investasi juga dikenakan pungutan sebesar 0,5 persen-0,75 persen dari imbalan pengelolaan (management fee). OJK juga mengatur pungutan untuk bank kustodian yang melakukan aktivitas terkait pengelolaan investasi. Pungutan direncanakan sebesar 0,5 persen dari imbalan jasa kustodian (custodian fee).
Perusahaan pemeringkat efek akan terkena pungutan Rp 7,5 juta-Rp 15 juta per perusahaan. Sedangkan penasihat investasi terkena pungutan sebesar Rp 2,5 juta-Rp 5 juta per perusahaan dan/atau Rp 250 ribu-Rp 500 ribu per orang.
"Jangan ada pungutan berganda. Dari satu pintu saja, yaitu BEI," ujar Ketua APEI , Lily Widjaja, Senin, 4 Februari 2013.
Lily memaparkan, selama ini perusahaan efek menyetor pada BEI untuk fee transaksi sebesar 0,03 persen dan jaminan 0,01 dari jumlah transaksi yang dilangsungkan. Selain pungutan ganda yang mungkin akan dikenakan pada perusahaan efek, Asosiasi juga keberatan dengan pungutan yang dikenakan tidak dengan dasar aset.
Pungutan berdasarkan transaksi dan aksi korporasi ini juga diminta untuk diturunkan. "Saya harap iuran untuk perusahaan efek malah tidak diberlakukan," ia menegaskan.
Seperti diketahui, OJK menetapkan besaran pungutan untuk pendapatan usaha dari lembaga keuangan sebesar 7,5 sampai 15 persen. Tak hanya bursa, pungutan ini juga dikenakan kepada penjamin emisi efek dan perantara pedagang efek yang mengadministrasikan rekening efek nasabah, yaitu sebesar 0,015-0,03 persen dari aset.
Manajer investasi juga dikenakan pungutan sebesar 0,5 persen-0,75 persen dari imbalan pengelolaan (management fee). OJK juga mengatur pungutan untuk bank kustodian yang melakukan aktivitas terkait pengelolaan investasi. Pungutan direncanakan sebesar 0,5 persen dari imbalan jasa kustodian (custodian fee).
Perusahaan pemeringkat efek akan terkena pungutan Rp 7,5 juta-Rp 15 juta per perusahaan. Sedangkan penasihat investasi terkena pungutan sebesar Rp 2,5 juta-Rp 5 juta per perusahaan dan/atau Rp 250 ribu-Rp 500 ribu per orang.
Ramai-Ramai Mempersoalkan Aturan Pungutan OJK
Banyak jalan menuju
Roma. Kiasan itu tepat bagi sejumlah pihak yang merasa keberatan dengan
kebijakan pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang akhirnya menggugat
UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK ke Mahkamah
Konstitusi.
Misalnya, Ikatan Notaris Indonesia (INI). Secara tegas, INI menolak pungutan OJK. Penolakan INI tak main-main. Bahkan sebagai organisasi, INI siap menjadi fasilitator bagi anggotanya yang ingin mengajukan judicial review terkait pungutan OJK tersebut.
Fasilitas yang diberikan INI sebagai organisasi, bisa dalam bentuk pemberian bantuan hukum dalam mengajukan judicial review. “Saya tidak bisa membendung keinginan anggota untuk judicial review,” kata Ketua Umum INI Adrian Djuaeni.
Sikap penolakan INI tersebut muncul setelah pengurus pusat melakukan rapat dan membahasnya dengan anggota. “INI tidak akan pernah tinggal diam terkait pelaksanaan apapun yang berkaitan dengan jabatan maupun eksistensi organisasi dan lembaga kenotariatan,” katanya.
INI sadar upaya judicial review tersebut bukan tanpa hambatan. Menurut Adrian, akan ada konsekuensi dari pengajuan judicial review tersebut. Misalnya, hasil uji materi tak sesuai yang diharapkan pemohon. Selain itu, proses pemeriksaan dalam judicial reviewmembutuhkan waktu yang tak sebentar. Meski begitu, ia berharap hasil uji materi nantinya sesuai yang diharapkan INI bahwa tak ada pungutan terhadap notaris.
Hal sama dirasakan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM). Ketua HKHPM Indra Safitri mengatakan, dari berbagai pembicaraan informal antara sesama anggota HKHPM, terdapat beberapa anggota yang berencana untuk mengajukan judicial review terhadap pungutan OJK tersebut.
Menurutnya, terdapat berbagai cara dari anggota HKHPM yang ingin mengajukan gugatan. Misalnya, menguji pasal mengenai pungutan di dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK. Pengujian ini bisa dilayangkan anggota HKHPM yang keberatan melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Cara lain, tambah Indra, bisa melalui judicial review PP No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK ke Mahkamah Agung (MA). “Saya yakin ada, tinggal tunggu waktunya saja,” katanya melalui sambungan telpon kepada hukumonline, Jumat (11/4).
Lain halnya dengan INI, HKHPM selaku organisasi menyerahkan sepenuhnya langkah-langkah hukum tersebut kepada masing-masing anggota. Alasannya, anggota HKHPM adalah advokat yang sudah mengerti upaya hukum yang akan dilakukan. Terlebih lagi, secara organisasi, HKHPM dengan tegas keberatan atas pungutan OJK tersebut.
“Anggota kita adalah advokat yang sudah tahu langkah yang akan dilakukan dalam mengajukan judicial review. Sebagai asosiasi (HKHPM, red) tidak dalam posisi memfasilitasi seperti lembaga lain,” tutur Indra.
Dari serangkaian keberatan HKHPM tersebut, Indra mengatakan HKHPM hanya bisa menerima pungutan sebesar Rp5 juta untuk pendaftaran saja. Sedangkan sisanya, menolak. Penolakan ini dibuktikan HKHPM dengan melayangkan surat keberatan kepada OJK.
Keberatan yang sama juga dilontarkan oleh akuntan publik. Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), Tarkosunaryo, menilai berlakunya pungutan OJK semakinmemberatkan profesi akuntan publik.
Menurutnya, pungutan tersebut tidak pas jika dikenakan kepada akuntan publik yang profesinya selalu berkaitan dengan pelaku jasa keuangan. “Tidak pas, profesi kami penunjang yang notabene diperlukan oleh pelaku jasa keuangan,” katanya.
Seluruh beban ini dikhawatirkan Tarko berdampak pada profesi akuntan publik. Menurutnya, beban pungutan yang begitu banyak akan membuat anak-anak muda enggan memilih profesi akuntan publik sebagai pekerjaan. “Jadi tidak menarik bagi anak-anak muda untuk jadi akuntan, kebanyakan akuntan yang ada sudah usia lanjut, ini memberatkan,” katanya.
Sebagaimana diketahui, dalam PP Pungutan OJK terdapat pungutan bagi profesi penunjang secara individu maupun lembaga atau kantor. Pungutan OJK terdapat dua jenis. Pertama, jenis pungutan biaya untuk perizinan dan pendaftaran. Untuk jenis pungutan ini, tiap profesi penunjang pasar modal seperti akuntan, konsultan hukum, penilai dan notaris wajib menyetor uang ke OJK sebesar Rp5 juta per orang.
Biaya ini termasuk untuk profesi penunjang perbankan seperti akuntan dan penilai serta profesi penunjang Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yaitu akuntan, konsultan hukum, penilai dan konsultan aktuaria. Dalam Pasal 8 PP Pungutan OJK disebutkan bahwa biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran dan pengesahan tersebut wajib dibayar sebelum pengajuan dilakukan.
Sedangkan untuk jenis pungutan kedua adalah biaya tahunan yang diperuntukkan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penelitian. Untuk jenis pungutan ini, kantor konsultan hukum, kantor akuntan publik, kantor jasa penilai publik, kantor notaris dan perusahaan konsultan aktuaria sepanjang memiliki izin, persetujuan, pengesahan atau pendaftaran dari OJK wajib memberikan iuran sebesar 1,2 persen dari nilai kontrak kegiatan di sektor jasa keuangan.
Biaya tahunan tersebut wajib dibayar dalam empat tahap tiap tahunnya. Pembayaran pertama, akan segera berlaku, yakni pada tanggal 15 April. Dalam peraturan, pembayaran biaya tahunan dilakukan secara bertahap. Pembayaran paling lambat dilakukan pada tanggal 15 setiap bulan April, Juli, Oktober dan tanggal 31 Desember pada tahun berjalan.
Jenis pungutan biaya tahunan ini juga berlaku bagi profesi penunjang pasar modal yaitu akuntan, konsultan hukum, penilai dan notaris serta profesi penunjang perbankan yaitu akuntan dan penilai. Tiap profesi penunjang, wajib membayar iuran ke OJK sebesar Rp5 juta tiap tahunnya. Biaya tahunan tersebut wajib dibayar paling lambat setiap tanggal 15 Juni pada tahun berjalan.
Gugatan ke MK
Misalnya, Ikatan Notaris Indonesia (INI). Secara tegas, INI menolak pungutan OJK. Penolakan INI tak main-main. Bahkan sebagai organisasi, INI siap menjadi fasilitator bagi anggotanya yang ingin mengajukan judicial review terkait pungutan OJK tersebut.
Fasilitas yang diberikan INI sebagai organisasi, bisa dalam bentuk pemberian bantuan hukum dalam mengajukan judicial review. “Saya tidak bisa membendung keinginan anggota untuk judicial review,” kata Ketua Umum INI Adrian Djuaeni.
Sikap penolakan INI tersebut muncul setelah pengurus pusat melakukan rapat dan membahasnya dengan anggota. “INI tidak akan pernah tinggal diam terkait pelaksanaan apapun yang berkaitan dengan jabatan maupun eksistensi organisasi dan lembaga kenotariatan,” katanya.
INI sadar upaya judicial review tersebut bukan tanpa hambatan. Menurut Adrian, akan ada konsekuensi dari pengajuan judicial review tersebut. Misalnya, hasil uji materi tak sesuai yang diharapkan pemohon. Selain itu, proses pemeriksaan dalam judicial reviewmembutuhkan waktu yang tak sebentar. Meski begitu, ia berharap hasil uji materi nantinya sesuai yang diharapkan INI bahwa tak ada pungutan terhadap notaris.
Hal sama dirasakan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM). Ketua HKHPM Indra Safitri mengatakan, dari berbagai pembicaraan informal antara sesama anggota HKHPM, terdapat beberapa anggota yang berencana untuk mengajukan judicial review terhadap pungutan OJK tersebut.
Menurutnya, terdapat berbagai cara dari anggota HKHPM yang ingin mengajukan gugatan. Misalnya, menguji pasal mengenai pungutan di dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK. Pengujian ini bisa dilayangkan anggota HKHPM yang keberatan melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Cara lain, tambah Indra, bisa melalui judicial review PP No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK ke Mahkamah Agung (MA). “Saya yakin ada, tinggal tunggu waktunya saja,” katanya melalui sambungan telpon kepada hukumonline, Jumat (11/4).
Lain halnya dengan INI, HKHPM selaku organisasi menyerahkan sepenuhnya langkah-langkah hukum tersebut kepada masing-masing anggota. Alasannya, anggota HKHPM adalah advokat yang sudah mengerti upaya hukum yang akan dilakukan. Terlebih lagi, secara organisasi, HKHPM dengan tegas keberatan atas pungutan OJK tersebut.
“Anggota kita adalah advokat yang sudah tahu langkah yang akan dilakukan dalam mengajukan judicial review. Sebagai asosiasi (HKHPM, red) tidak dalam posisi memfasilitasi seperti lembaga lain,” tutur Indra.
Dari serangkaian keberatan HKHPM tersebut, Indra mengatakan HKHPM hanya bisa menerima pungutan sebesar Rp5 juta untuk pendaftaran saja. Sedangkan sisanya, menolak. Penolakan ini dibuktikan HKHPM dengan melayangkan surat keberatan kepada OJK.
Keberatan yang sama juga dilontarkan oleh akuntan publik. Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), Tarkosunaryo, menilai berlakunya pungutan OJK semakinmemberatkan profesi akuntan publik.
Menurutnya, pungutan tersebut tidak pas jika dikenakan kepada akuntan publik yang profesinya selalu berkaitan dengan pelaku jasa keuangan. “Tidak pas, profesi kami penunjang yang notabene diperlukan oleh pelaku jasa keuangan,” katanya.
Seluruh beban ini dikhawatirkan Tarko berdampak pada profesi akuntan publik. Menurutnya, beban pungutan yang begitu banyak akan membuat anak-anak muda enggan memilih profesi akuntan publik sebagai pekerjaan. “Jadi tidak menarik bagi anak-anak muda untuk jadi akuntan, kebanyakan akuntan yang ada sudah usia lanjut, ini memberatkan,” katanya.
Sebagaimana diketahui, dalam PP Pungutan OJK terdapat pungutan bagi profesi penunjang secara individu maupun lembaga atau kantor. Pungutan OJK terdapat dua jenis. Pertama, jenis pungutan biaya untuk perizinan dan pendaftaran. Untuk jenis pungutan ini, tiap profesi penunjang pasar modal seperti akuntan, konsultan hukum, penilai dan notaris wajib menyetor uang ke OJK sebesar Rp5 juta per orang.
Biaya ini termasuk untuk profesi penunjang perbankan seperti akuntan dan penilai serta profesi penunjang Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yaitu akuntan, konsultan hukum, penilai dan konsultan aktuaria. Dalam Pasal 8 PP Pungutan OJK disebutkan bahwa biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran dan pengesahan tersebut wajib dibayar sebelum pengajuan dilakukan.
Sedangkan untuk jenis pungutan kedua adalah biaya tahunan yang diperuntukkan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penelitian. Untuk jenis pungutan ini, kantor konsultan hukum, kantor akuntan publik, kantor jasa penilai publik, kantor notaris dan perusahaan konsultan aktuaria sepanjang memiliki izin, persetujuan, pengesahan atau pendaftaran dari OJK wajib memberikan iuran sebesar 1,2 persen dari nilai kontrak kegiatan di sektor jasa keuangan.
Biaya tahunan tersebut wajib dibayar dalam empat tahap tiap tahunnya. Pembayaran pertama, akan segera berlaku, yakni pada tanggal 15 April. Dalam peraturan, pembayaran biaya tahunan dilakukan secara bertahap. Pembayaran paling lambat dilakukan pada tanggal 15 setiap bulan April, Juli, Oktober dan tanggal 31 Desember pada tahun berjalan.
Jenis pungutan biaya tahunan ini juga berlaku bagi profesi penunjang pasar modal yaitu akuntan, konsultan hukum, penilai dan notaris serta profesi penunjang perbankan yaitu akuntan dan penilai. Tiap profesi penunjang, wajib membayar iuran ke OJK sebesar Rp5 juta tiap tahunnya. Biaya tahunan tersebut wajib dibayar paling lambat setiap tanggal 15 Juni pada tahun berjalan.
Gugatan ke MK
Bukan hanya terkait
pungutan saja yang menjadi bahan keberatan sejumlah pihak. Keberadaan OJK
sebagai otoritas juga turut digugat ke MK. Tak
tanggung-tanggung, salah satu gugatan yang diajukan Tim Pembela Kedaulatan
Ekonomi Bangsa (TPKEB) tersebut adalah pasal ‘jantung’ dari keberadaan OJK.
Kuasa Hukum TPKEB Syamsudin Slawat Pesilette mengatakan, kata 'independen' dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK bertentangan dengan ketentuan Pasal 23D dan Pasal 33 UUD 1945. Menurutnya, kata 'independen' dalam konstitusi hanya dimungkinkan dengan melalui bank sentral, bukan OJK. Atas dasar itu, kata 'independen' dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK dicangkok secara utuh dari Pasal 34 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI).
Bukan hanya pasal ‘jantung’ dari keberadaan OJK yang digugat para pemohon. Fungsi pengawasan OJK terintegrasi dan pungutan OJK dinilai bertentangan dengan konstitusi. Anggota TPKEB Ahmad Suryono mengatakan, keberadaan OJK mendorong terbentuknya pasar bebas yang berpihak pada orang kaya dan pemilik modal, bukan kepada rakyat dan ekonomi kerakyatan.
Selain membatalkan Pasal 1 angka 1 UU OJK, lanjut Suryono, pihaknya meminta MK untuk membatalkan Pasal 5 dan Pasal 37 UU OJK. Pasal 5 UU OJK yang menyebutkan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat berdampak pada penumpukan kewenangan.
“Penumpukan kewenangan dalam satu tangan/badan dapat menimbulkan potensi moral hazard,dimana kemudian OJK di-setting untuk independen sehingga pengambilan keputusan, kebijakan dan akuntabilitas organisasi menjadi sulit terkontrol,” katanya.
Sedangkan Pasal 37 UU OJK terkait pungutan OJK, dapat berdampak pada berkurangnya kemandirian OJK. Pungutan ini memicu tanda tanya lantaran akan ditempatkan di pos apa dalam nomenklatur APBN. “Jika akan ditempatkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka patut dipertanyakan sejauh mana Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan melakukan audit,” tanyanya.
Selain itu, Suryono meminta MK untuk menyatakan frasa ‘..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..’ sebagaimana terdapat pada Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam petitum provisinya, para pemohon uji materi UU OJK tersebut berharap MK dapat menghentikan untuk sementara operasional OJK hingga ada putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat. Memerintahkan Bank Indonesia (BI) untuk mengambil alih sementara fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan sampai ada putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat.
Kemudian, memerintahkan BPK melakukan audit, analisis dan penelitian mendalam kepada OJK terkait dengan adanya kerugian keuangan negara, potensi kerugian keuangan negara, serta memberikan rekomendasi siapa saja para pemangku kebijakan yang yang turut serta dalam pengambilan kebijakan tersebut.
Tetap Memungut
Kuasa Hukum TPKEB Syamsudin Slawat Pesilette mengatakan, kata 'independen' dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK bertentangan dengan ketentuan Pasal 23D dan Pasal 33 UUD 1945. Menurutnya, kata 'independen' dalam konstitusi hanya dimungkinkan dengan melalui bank sentral, bukan OJK. Atas dasar itu, kata 'independen' dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK dicangkok secara utuh dari Pasal 34 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI).
Bukan hanya pasal ‘jantung’ dari keberadaan OJK yang digugat para pemohon. Fungsi pengawasan OJK terintegrasi dan pungutan OJK dinilai bertentangan dengan konstitusi. Anggota TPKEB Ahmad Suryono mengatakan, keberadaan OJK mendorong terbentuknya pasar bebas yang berpihak pada orang kaya dan pemilik modal, bukan kepada rakyat dan ekonomi kerakyatan.
Selain membatalkan Pasal 1 angka 1 UU OJK, lanjut Suryono, pihaknya meminta MK untuk membatalkan Pasal 5 dan Pasal 37 UU OJK. Pasal 5 UU OJK yang menyebutkan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat berdampak pada penumpukan kewenangan.
“Penumpukan kewenangan dalam satu tangan/badan dapat menimbulkan potensi moral hazard,dimana kemudian OJK di-setting untuk independen sehingga pengambilan keputusan, kebijakan dan akuntabilitas organisasi menjadi sulit terkontrol,” katanya.
Sedangkan Pasal 37 UU OJK terkait pungutan OJK, dapat berdampak pada berkurangnya kemandirian OJK. Pungutan ini memicu tanda tanya lantaran akan ditempatkan di pos apa dalam nomenklatur APBN. “Jika akan ditempatkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka patut dipertanyakan sejauh mana Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan melakukan audit,” tanyanya.
Selain itu, Suryono meminta MK untuk menyatakan frasa ‘..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..’ sebagaimana terdapat pada Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam petitum provisinya, para pemohon uji materi UU OJK tersebut berharap MK dapat menghentikan untuk sementara operasional OJK hingga ada putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat. Memerintahkan Bank Indonesia (BI) untuk mengambil alih sementara fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan sampai ada putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat.
Kemudian, memerintahkan BPK melakukan audit, analisis dan penelitian mendalam kepada OJK terkait dengan adanya kerugian keuangan negara, potensi kerugian keuangan negara, serta memberikan rekomendasi siapa saja para pemangku kebijakan yang yang turut serta dalam pengambilan kebijakan tersebut.
Tetap Memungut
Meski ‘serangan’ terhadap OJK bertubi-tubi, otoritas tetap akan memungut. Walaupun begitu, OJK tetap menghormati gugatan yang sudah dilayangkan maupun pihak-pihak yang baru akan melayangkan uji materi terkait pungutan tersebut. Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengatakan, pungutan akan dilakukan secara bertahap, dimulai pada tanggal 15 April 2014. “Tidak akan berpengaruh (gugatan, red) terhadap pungutan OJK, kami jalan terus,” kata Nelson.
Hal senada juga diutarakan Wakil Ketua Komisi XI DPR Andi Rahmat. Menurutnya, pungutan OJK tersebut merupakan amanat dari UU OJK. Atas dasar itu, semua industri jasa keuangan yang berkaitan dengan OJK wajib membayar iurannya. “Kalau ada yang puas atau tidak puas, namanya juga pungutan,” kata politisi dari PKS ini.
Untuk profesi penunjang yang kena pungutan, Andi mengatakan, sah-sah saja karena dalam sektor jasa keuangan terdapat profesi yang tidak melekat pada perusahaan atau jabatan yang ada lebih melekat kepada individu. Misalnya agen asuransi, wakil manajer investasi, ataupun konsultan hukum. “Seperti pengacara, pengacara itu punya kantor, tapi pengacaranya sendiri itu merupakan subjek pajak,” katanya.
Setidaknya terdapat ‘lampu hijau’ yang diberikan OJK kepada kantor notaris, kantor konsultan hukum maupun kantor jasa penilai publik. Direktur Pengaturan Pasar Modal OJK Retno Ici menegaskan bahwa, kantor konsultan hukum, kantor notaris maupun kantor jasa penilai publik tak kena pungutan 1,2 persen dari nilai kontrak di tiap kegiatan di sektor jasa keuangan.
Alasannya karena salah satu syarat kantor yang terkena pungutan adalah yang memiliki izin, persetujuan, pengesahan dan pendaftaran dari OJK. Selama ini, lanjut Retno, hanya Kantor Akuntan Publik (KAP) yang wajib memiliki izin, persetujuan, pengesahan dan pendaftaran dari OJK. Terlebih lagi, terdapat regulasi yang mengatur keberadaan KAP tersebut, yakni UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik.
“Saat ini tidak ada regulasi di sektor jasa keuangan yang mengatur kantor konsultan hukum, kantor notaris atau kantor apraisal, kecuali KAP,” tutup Retno.
Sumber :
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt534ceb94476d3/ramai-ramai-mempersoalkan-aturan-pungutan-ojk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar