Rabu, 24 Desember 2014

Perbedaan Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, dan 23


Berikut ini ialah perbedaan pajak penghasilan pasal 21, 22, dan 23 :

 PPh Pasal 21

1. Dasar Hukum
UU No.7 Tahun 1983 Tentang PPh, terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008

2. Pengertian
Pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.

3. Subjek Pajak
- Pejabat Negara;
- Pegawai;
- Penerima Pensiun;
- Penerima Honorarium;
- Orang Pribadi Lainnya.

4. Objek Pajak
- Penghasilan yang diterima oleh Pegawai;
- Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
- Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis.

5. Tarif
Penghasilan Kena Pajak (PKP)
- Sampai dengan Rp. 50.000.000,-                                                        5%;
- Diatas Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp. 250.000.000,-        15%;
- Diatas Rp. 250.000.000,- sampai dengan Rp. 500.000.000,-      25%.
- Diatas Rp. 500.000.000,-                                                                  30%.
             
PPh Pasal 22

1. Dasar Hukum
UU No. 7 Tahun 1983 Tentang PPh, terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008.

2. Pengeritan
Pajak atas penghasilan yang membahas tentang cara pelunasan pembayaran pajak tahun berjalan oleh Wajib Pajak atas penghasilan  sehubungan dengan impor barang/jasa, pembelian barang dengan menggunakan dana APBN/APBD dan non APBN/APBD, dan penjualan barang sangat mewah.

3. Subjek Pajak
Setiap Wajib Pajak yang melakukan impor, kecuali yang mendapat fasilitas pembebasan.

4. Pemungut dan Objek Pajak
- Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang;
- BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari APBN dan APBD;
- Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik (BULOG);
- Wajib Pajak Badan yang melakukan pejualan barang yang tergolong sangat mewah;
- Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah yang melakukan  
   pembayaran, atas pembelian barang.
- Produsen atau importer bahan bakar minyak;
- Badan usaha yang bergerak di industri semen, industri rokok, industri kertas, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor

5. Tarif
- Angka Pengenal Impor (API), 2.5%          - Baja, 0.3% (tidak final)
- Non API , 7.5%                                             - Kertas, 0.1% (tidak final)
- BUMN/BUMD, 1.5% (tidak final)             - Obat, 0.3% (tidak final)
- Semen, 0.25% (tidak final)                        - Bahan Bakar Gas, 0.3% (tidak final)
- Rokok, 0.15% (final)                                   - Barang Mewah, 5%
- Otomotif,. 0.45% (tidak final)

PPh Pasal 23

1. Dasar Hukum
UU No. 7 Tahun 1983 Tentang PPh, terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008.
2. Pengeritan

Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, deviden, bunga, royalty, sewa, serta penggunaan harta selain yang telah dipotong PPh Ps 21 dan PPh Final (4 ayat 2).

3. Subjek Pajak
- Bentuk Usaha Tetap (BUT);
- Wajib Pajak (WP) dalam negeri.

4. Pemotong PPh
- Badan Pemerintah;
- Bentuk Usaha Tetap (BUT);
- Wajib Pajak (WP) Badan Dalam Negeri.

5. Tarif
- 15% dari jumlah bruto atas : dividen, bunga, royalti, hadiah, dan bonus;
 2% dari jumlah bruto : sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, dan jasa konsultan.

Kurang lebihnya sih seperti itu untuk sumber tarif PPh Pasal 21 dapat dilihat di http://www.infopajak.com/rate/rate21.htm

Kode Etik Auditor Antara Konsep dan Kenyataan


 ‘’Perlunya kode etik bagi profesi’’

Kode etik yang mengikat semua anggota profesi perlu ditetapkan bersama, tanpa kode etik maka setiap individu dalam satu komunitas akan memiliki sikap atau tingkah laku yang berbeda – beda yang dinilai baik menurut anggapannya sendiri dalam berinteraksi dengan masyarakat atau organisasi lainnya. Tidak dapat dibayangkan betapa kacaunya apabila, setiap orang dibiarkan dengan bebas menentukan mana yang baik dan mana yang buruk menurut kepentingannya masing – masing, atau bila perlu menipu dan berbohong dalam bisnis seperti menjual produk yang tidak memenuhi standar tetap dijual dianggap sebagai hal yang wajar (karena setiap pebisnis selalu menganggap bahwa setiap pebisnis juga melakukan hal yang sama). Atau hal lain seperti setiap orang diberi kebebasan untuk berkendara di sebelah kiri atau kanan sesuai keinginannya. Oleh karena itu nilai etika atau kode etik diperlukan oleh masyarakat, organisasi, bahkan Negara agar semua berjalan dengan tertib, lancar, teratur, dan terukur.

Kepercayaan masyarakat dan pemerintah atas hasil kerja auditor ditentukan oleh keahlian, indepedensi serta integritas moral/ kejujuran para auditor dalam menjalankan pekerjaannya. Ketidak percayaan masyarakat terhadap satu atau beberapa auditor dapat merendahkan martabat profesi auditor secara keseluruhan, sehingga dapat merugikan auditor lainnya.

Oleh karena itu organisasi auditor berkepentingan untuk mempunyai kode etik yang  dibuat sebagai prinsip moral atau aturan perilaku yang mengatur hubungan antara auditor dengan klien dan masyarakat.

Kode etik atau aturan perilaku dibuat untuk dipedomani dalam berperilaku atau melaksanakan penugasan sehingga menumbuhkan kepercayaan dan memelihara citra organisasi di mata masyarakat.

1. Tanggung Jawab Profesi

Dalam melaksanakan pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai bidang yang ahli dalam bidangnya atau profesional, setiap auditor harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam setiap kegiatan yang dilakukan seperti dalam mengaudit sampai penyampaian hasil laporan audit.

2. Kepentingan Publik

Profesi akuntan publik memegang peran yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Karena tanggung jawab yang dimiliki oleh auditor adalah menjaga kredibilitas organisasi atau perusahaan.

3. Integritas 

Auditor harus memiliki integritas yang tinggi, sama seperti hal dalam kepentingan publik, auditor adalah peran yang penting dalam organisasi, dalam menjalankan tanggung jawabnya auditor harus memiliki integritas yang tinggi, tidak mementingkan kepentingan sendiri tetapi kepentingan bersama atas dasar nilai kejujuran. Sehingga kepercayaan masyarakat dan pihak – pihak lain memeliki kepercayaan yang tetap.

4. Objektivitas

Setiap auditor harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan auditor bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. Akan tetapi, setiap auditor tidak diperbolehkan memberikan jasa non-assurance kepada kliennya sendiri, karena dapat menimbulkan tindakan yang dapat melanggar peraturan atau kecurangan.

5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional

Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir. Auditor diharapkan memiliki pengetahuan yang memadai dan sikap yang konsistensi dalam menjalankan tanggung jawabnya.

6. Kerahasiaan

Setiap auditor harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasanya dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan klien atau pihak – pihak yang terkait, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.

7. Perilaku Profesional

Setiap auditor harus berperilaku yang konsisten dengan karakter yang dimiliki yang harus dapat menyesuaikan perilakunya dengan setiap situasi atau keadaan dalam setiap tanggung jawabnya terhadap klien.

8. Standar Teknis

Setiap auditor harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, auditor mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati auditor adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.

sumber :

Hasil Foto


Selasa, 23 Desember 2014

Pro Kontra Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM)



Akhirnya kebijakan pemerintah dalam menaikan harga BBM sedang kita rasakan, setiap kebijakan yang dibuat pemerintah selalu ada pro dan kontranya. Menurut apa yang saya lihat, baca dan rasakan mengenai kenaikan harga BBM untuk Pro-nya ialah : Mengatasi defisit anggaran, Membenahi masalah ekonomi yang terjadi di Indonesia, mengurangi jumlah kemacetan. Lagi pula harga BBM di Indonesia termasuk harga BBM yang termurah di dunia, coba fikirkan bagi yang merokok mampu menghabiskan uangnya untuk membeli rokok ibaratnya rokok itu merupakan salah satu kebutuhan pokoknya, kita mampu makan di restaurant, kita mampu membeli kendaraan sendiri, kita mampu hangout kesana kemari, kita mampu minum coffee di tempat yang ternama, dsb. Tapi untuk memajukan negara kalian sendiri apakah tidak mampu ? ..

Janganlah mempersulit diri sendiri kita sudah ada presiden yang baru, pemerintahan yang baru dan kebijakan yang baru jadi apa salahnya kalau kita mulai welcome terhadap itu semua. Apalagi demo yang anarki buat apa ? membuang waktu dan tenaga, semua kebijakan yang dibuat itu ada tujuan dan solusi.

Semua kembali ke diri kita masing-masing, jika kebijakan itu tidak sesuai yang diharapkan lakukanlah kegiatan yang mampu mendongkrak itu semua dengan cara yang tidak merugikan orang lain.

Hmm kalau kontranya sih pastinya disamping harga BBM naik harga harga yang lain juga ikut naik.

Black and White


Selamat Hari Ibu


Audit Forensik : Makhluk apakah itu ?



Akuntansi forensik adalah praktik khusus bidang akuntansi yang menggambarkan keterlibatan yang dihasilkan dari perselisihan aktual atau yang diantisipasi atau litgasi. "Forensik" ​​berarti "yang cocok untuk digunakan dalam pengadilan hukum", dan itu adalah untuk yang standar dan potensi hasil yang umumnya akuntan forensik harus bekerja. Akuntan forensik, juga disebut sebagai auditor forensik atau auditor investigasi, seringkali harus memberikan bukti ahli pada sidang akhirnya.


Audit Forensik terdiri dari dua kata, yaitu audit dan forensik. Audit adalah tindakan untuk membandingkan kesesuaian antara kondisi dan kriteria. Sementara forensik adalah segala hal yang bisa diperdebatkan di muka hukum / pengadilan.

Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), forensic accounting / auditing merujuk kepada fraud examination. Dengan kata lain keduanya merupakan hal yang sama, yaitu:

“Forensic accounting is the application of accounting, auditing, and investigative skills to provide quantitative  financial information about matters before the courts.”

Menurut D. Larry Crumbley, editor-in-chief dari Journal of Forensic Accounting (JFA) “Akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat (cocok) untuk tujuan hukum. Artinya, akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan judicial atau administratif”.

Dengan demikian, audit forensik bisa didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan membandingkan antara kondisi di lapangan dengan kriteria, untuk menghasilkan informasi atau bukti kuantitatif yang bisa digunakan di muka pengadilan.

Karena sifat dasar dari audit forensik yang berfungsi untuk memberikan bukti di muka pengadilan, maka fungsi utama dari audit forensik adalah untuk melakukan audit investigasi terhadap tindak kriminal dan untuk memberikan keterangan saksi ahli (litigation support) di pengadilan.

Audit Forensik dapat bersifat proaktif maupun reaktif. Proaktif artinya audit forensik digunakan untuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinan risiko terjadinya fraud atau kecurangan. Sementara itu, reaktif artinya audit akan dilakukan ketika ada indikasi (bukti) awal terjadinya fraud. Audit tersebut akan menghasilkan “red flag” atau sinyal atas ketidakberesan. Dalam hal ini, audit forensik yang lebih mendalam dan investigatif akan dilakukan.

Jadi, audit forensik menurut saya itu ialah makhluk yang melakukan tindakan untuk memberantas kecurangan yang mungkin terjadi dan mencari tau siapa orang yang melakukan (pelaku) kecurangan berdasarkan standar audit dan hukum.


Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Akuntansi_forensik
http://panjikeris.wordpress.com/2012/04/24/audit-forensik/

Kamis, 13 November 2014

Reaksi Beberapa Manajemen Perusahaan Terhadap Iuran OJK



Kalangan Industri Asuransi
JAKARTA -- Kalangan industri asuransi menilai besaran pungutan untuk iuran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 0,06% dari aset lembaga keuangan kemahalan.

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Benny Waworuntu menilai besaran iuran persentase 0,06% dari aset tergolong kemahalan.

"Kalau lihat angka itu tanpa membaca detailnya saya kira kemahalan," ujarnya, Kamis (21/11).

Benny melanjutkan penghitungan besaran pungutan OJK seharusnya tidak hanya menggunakan pertimbangan sisi aset saja, melainkan juga dikaitkan dengan revenue lembaga keuangan pada tahun tersebut.

"Karena biarpun aset besar, tetapi bisa saja pendapatan bisnisnya mungkin sedang turun," katanya.

‎​Hal senada dikemukakan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Hary Prasetyo. Menurut dia, besaran persentase pungutan OJK sebaiknya juga mempertimbangkan net income lembaga keuangan.

‎"​Kalau [penghitungan] dari aset, kan jadi terasa besar apabila performance atau net profit atau bisnis sedang tidak bagus, ia harus bayar biaya yang mungkin lebih tinggi dari biaya lainnya. Kalau dari net income kan akan sangat tergantung performance. Jadi lebih fair," ujarnya.

Terkait besaran pungutan, lanjut Hary, berapa pun besarannya tetap akan menjadi pertimbangan sisi finansial para pelaku usaha. Apalagi pungutan OJK merupakan hal baru yang terjadi di industri keuangan.

"Jika banyak manfaat yang akan diperoleh, saya rasa tidak ada masalah jika harus dikeluarkan dalam jumlah tertentu," katanya.

Pungutan akan terasa mahal, ujarnya, karena selama ini industri belum pernah dipungut biaya untuk sesuatu yang memang sudah menjadi hak industri seperti pengawasan.

"Tentunya kami mengharapkan ada added value atas biaya tersebut," katanya.

Sementara itu, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) belum berani memberikan tanggapan terkait pungutan OJK sebesar 0,06% dari aset.

"Saya harus simulasi dulu pada anggota AAUI," ujar Direktur Eksekutif AAUI Julian Noor.

Sementara itu, Ketua Bidang Statistik AAUI Budi Herawan menilai OJK sebaiknya meminta masukan dari pelaku usaha terkait besaran iuran serta dasar perhitungan iuran yang pas bagi seluruh lembaga keuangan.

Kamis (22/11), Otoritas Jasa Keuangan melakukan sosialisasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pungutan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Dalam sosialisasi tersebut terungkap bahwa OJK menetapkan pungutan 0,06% dari aset lembaga keuangan dan akan diberlakukan secara bertahap mulai tahun depan.

Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI)

TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) keberatan terhadap rencana Otoritas Jasa Keuangan memungut iuran dari perusahaan efek. Sebab, selama ini perusahaan efek telah menyetor sejumlah iuran tertentu pada regulator bursa, yaitu Bursa Efek Indonesia (BEI).

"Jangan ada pungutan berganda. Dari satu pintu saja, yaitu BEI," ujar Ketua APEI , Lily Widjaja, Senin, 4 Februari 2013.

Lily memaparkan, selama ini perusahaan efek menyetor pada BEI untuk fee transaksi sebesar 0,03 persen dan jaminan 0,01 dari jumlah transaksi yang dilangsungkan. Selain pungutan ganda yang mungkin akan dikenakan pada perusahaan efek, Asosiasi juga keberatan dengan pungutan yang dikenakan tidak dengan dasar aset.

Pungutan berdasarkan transaksi dan aksi korporasi ini juga diminta untuk diturunkan. "Saya harap iuran untuk perusahaan efek malah tidak diberlakukan," ia menegaskan.

Seperti diketahui, OJK menetapkan besaran pungutan untuk pendapatan usaha dari lembaga keuangan sebesar 7,5 sampai 15 persen. Tak hanya bursa, pungutan ini juga dikenakan kepada penjamin emisi efek dan perantara pedagang efek yang mengadministrasikan rekening efek nasabah, yaitu sebesar 0,015-0,03 persen dari aset.

Manajer investasi juga dikenakan pungutan sebesar 0,5 persen-0,75 persen dari imbalan pengelolaan (management fee). OJK juga mengatur pungutan untuk bank kustodian yang melakukan aktivitas terkait pengelolaan investasi. Pungutan direncanakan sebesar 0,5 persen dari imbalan jasa kustodian (custodian fee).

Perusahaan pemeringkat efek akan terkena pungutan Rp 7,5 juta-Rp 15 juta per perusahaan. Sedangkan penasihat investasi terkena pungutan sebesar Rp 2,5 juta-Rp 5 juta per perusahaan dan/atau Rp 250 ribu-Rp 500 ribu per orang.

Ramai-Ramai Mempersoalkan Aturan Pungutan OJK

Banyak jalan menuju Roma. Kiasan itu tepat bagi sejumlah pihak yang merasa keberatan dengan kebijakan pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang akhirnya menggugat UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK ke Mahkamah Konstitusi.

Misalnya, Ikatan Notaris Indonesia (INI). Secara tegas, INI 
menolak pungutan OJK. Penolakan INI tak main-main. Bahkan sebagai organisasi, INI siap menjadi fasilitator bagi anggotanya yang ingin mengajukan judicial review terkait pungutan OJK tersebut.

Fasilitas yang diberikan INI sebagai organisasi, bisa dalam bentuk pemberian bantuan hukum dalam mengajukan judicial review. “Saya tidak bisa membendung keinginan anggota untuk judicial review,” kata Ketua Umum INI Adrian Djuaeni.

Sikap penolakan INI tersebut muncul setelah pengurus pusat melakukan rapat dan membahasnya dengan anggota. “INI tidak akan pernah tinggal diam terkait pelaksanaan apapun yang berkaitan dengan jabatan maupun eksistensi organisasi dan lembaga kenotariatan,” katanya.

INI sadar upaya judicial review tersebut bukan tanpa hambatan. Menurut Adrian, akan ada konsekuensi dari pengajuan judicial review tersebut. Misalnya, hasil uji materi tak sesuai yang diharapkan pemohon. Selain itu, proses pemeriksaan dalam judicial reviewmembutuhkan waktu yang tak sebentar. Meski begitu, ia berharap hasil uji materi nantinya sesuai yang diharapkan INI bahwa tak ada pungutan terhadap notaris.

Hal sama 
dirasakan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM). Ketua HKHPM Indra Safitri mengatakan, dari berbagai pembicaraan informal antara sesama anggota HKHPM, terdapat beberapa anggota yang berencana untuk mengajukan judicial review terhadap pungutan OJK tersebut.

Menurutnya, terdapat berbagai cara dari anggota HKHPM yang ingin mengajukan gugatan. Misalnya, menguji pasal mengenai pungutan di dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang 
OJK. Pengujian ini bisa dilayangkan anggota HKHPM yang keberatan melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Cara lain, tambah Indra, bisa melalui judicial review PP No. 11 Tahun 2014 tentang 
Pungutan oleh OJK ke Mahkamah Agung (MA). “Saya yakin ada, tinggal tunggu waktunya saja,” katanya melalui sambungan telpon kepada hukumonline, Jumat (11/4).

Lain halnya dengan INI, HKHPM selaku organisasi menyerahkan sepenuhnya langkah-langkah hukum tersebut kepada masing-masing anggota. Alasannya, anggota HKHPM adalah advokat yang sudah mengerti upaya hukum yang akan dilakukan. Terlebih lagi, secara organisasi, HKHPM dengan tegas keberatan atas pungutan OJK tersebut.

“Anggota kita adalah advokat yang sudah tahu langkah yang akan dilakukan dalam mengajukan judicial review. Sebagai asosiasi (HKHPM, red) tidak dalam posisi memfasilitasi seperti lembaga lain,” tutur Indra.

Dari serangkaian keberatan HKHPM tersebut, Indra mengatakan HKHPM hanya bisa menerima pungutan sebesar Rp5 juta untuk pendaftaran saja. Sedangkan sisanya, menolak. Penolakan ini dibuktikan HKHPM dengan melayangkan surat keberatan kepada OJK.

Keberatan yang sama juga dilontarkan oleh akuntan publik. Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), Tarkosunaryo, menilai berlakunya pungutan OJK semakin
memberatkan profesi akuntan publik.

Menurutnya, pungutan tersebut tidak pas jika dikenakan kepada akuntan publik yang profesinya selalu berkaitan dengan pelaku jasa keuangan. “Tidak pas, profesi kami penunjang yang notabene diperlukan oleh pelaku jasa keuangan,” katanya.

Seluruh beban ini dikhawatirkan Tarko berdampak pada profesi akuntan publik. Menurutnya, beban pungutan yang begitu banyak akan membuat anak-anak muda enggan memilih profesi akuntan publik sebagai pekerjaan. “Jadi tidak menarik bagi anak-anak muda untuk jadi akuntan, kebanyakan akuntan yang ada sudah usia lanjut, ini memberatkan,” katanya.

Sebagaimana diketahui, dalam PP Pungutan OJK terdapat pungutan bagi profesi penunjang secara individu maupun lembaga atau kantor. Pungutan OJK terdapat dua jenis. Pertama, jenis pungutan biaya untuk perizinan dan pendaftaran. Untuk jenis pungutan ini, tiap profesi penunjang pasar modal seperti akuntan, konsultan hukum, penilai dan notaris wajib menyetor uang ke OJK sebesar Rp5 juta per orang.

Biaya ini termasuk untuk profesi penunjang perbankan seperti akuntan dan penilai serta profesi penunjang Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yaitu akuntan, konsultan hukum, penilai dan konsultan aktuaria. Dalam Pasal 8 PP Pungutan OJK disebutkan bahwa biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran dan pengesahan tersebut wajib dibayar sebelum pengajuan dilakukan.

Sedangkan untuk jenis pungutan kedua adalah biaya tahunan yang diperuntukkan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penelitian. Untuk jenis pungutan ini, kantor konsultan hukum, kantor akuntan publik, kantor jasa penilai publik, kantor notaris dan perusahaan konsultan aktuaria sepanjang memiliki izin, persetujuan, pengesahan atau pendaftaran dari OJK wajib memberikan iuran sebesar 1,2 persen dari nilai kontrak kegiatan di sektor jasa keuangan.

Biaya tahunan tersebut wajib dibayar dalam empat tahap tiap tahunnya. Pembayaran pertama, akan segera berlaku, yakni pada tanggal 15 April. Dalam peraturan, pembayaran biaya tahunan dilakukan secara bertahap. Pembayaran paling lambat dilakukan pada tanggal 15 setiap bulan April, Juli, Oktober dan tanggal 31 Desember pada tahun berjalan.

Jenis pungutan biaya tahunan ini juga berlaku bagi profesi penunjang pasar modal yaitu akuntan, konsultan hukum, penilai dan notaris serta profesi penunjang perbankan yaitu akuntan dan penilai. Tiap profesi penunjang, wajib membayar iuran ke OJK sebesar Rp5 juta tiap tahunnya. Biaya tahunan tersebut wajib dibayar paling lambat setiap tanggal 15 Juni pada tahun berjalan.

Gugatan ke MK
Bukan hanya terkait pungutan saja yang menjadi bahan keberatan sejumlah pihak. Keberadaan OJK sebagai otoritas juga turut digugat ke MK. Tak tanggung-tanggung, salah satu gugatan yang diajukan Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa (TPKEB) tersebut adalah pasal ‘jantung’ dari keberadaan OJK.

Kuasa Hukum TPKEB Syamsudin Slawat Pesilette mengatakan, kata 'independen' dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK bertentangan dengan ketentuan Pasal 23D dan Pasal 33 UUD 1945. Menurutnya, kata 'independen' dalam konstitusi hanya dimungkinkan dengan melalui bank sentral, bukan OJK. Atas dasar itu, kata 'independen' dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK dicangkok secara utuh dari Pasal 34 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI).

Bukan hanya pasal ‘jantung’ dari keberadaan OJK yang digugat para pemohon. Fungsi pengawasan OJK terintegrasi dan pungutan OJK dinilai bertentangan dengan konstitusi. Anggota TPKEB Ahmad Suryono mengatakan, keberadaan OJK mendorong terbentuknya pasar bebas yang berpihak pada orang kaya dan pemilik modal, bukan kepada rakyat dan ekonomi kerakyatan.

Selain membatalkan Pasal 1 angka 1 UU OJK, lanjut Suryono, pihaknya meminta MK untuk membatalkan Pasal 5 dan Pasal 37 UU OJK. Pasal 5 UU OJK yang menyebutkan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat berdampak pada penumpukan kewenangan.

“Penumpukan kewenangan dalam satu tangan/badan dapat menimbulkan potensi moral hazard,dimana kemudian OJK di-setting untuk independen sehingga pengambilan keputusan, kebijakan dan akuntabilitas organisasi menjadi sulit terkontrol,” katanya.

Sedangkan Pasal 37 UU OJK terkait pungutan OJK, dapat berdampak pada berkurangnya kemandirian OJK. Pungutan ini memicu tanda tanya lantaran akan ditempatkan di pos apa dalam nomenklatur APBN. “Jika akan ditempatkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka patut dipertanyakan sejauh mana Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan melakukan audit,” tanyanya.

Selain itu, Suryono meminta MK untuk menyatakan frasa ‘..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..’ sebagaimana terdapat pada Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam petitum 
provisinya, para pemohon uji materi UU OJK tersebut berharap MK dapat menghentikan untuk sementara operasional OJK hingga ada putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat. Memerintahkan Bank Indonesia (BI) untuk mengambil alih sementara fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan sampai ada putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat.

Kemudian, memerintahkan BPK melakukan audit, analisis dan penelitian mendalam kepada OJK terkait dengan adanya kerugian keuangan negara, potensi kerugian keuangan negara, serta memberikan rekomendasi siapa saja para pemangku kebijakan yang yang turut serta dalam pengambilan kebijakan tersebut.

Tetap Memungut

Meski ‘serangan’ terhadap OJK bertubi-tubi, otoritas tetap akan 
memungut. Walaupun begitu, OJK tetap menghormati gugatan yang sudah dilayangkan maupun pihak-pihak yang baru akan melayangkan uji materi terkait pungutan tersebut. Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengatakan, pungutan akan dilakukan secara bertahap, dimulai pada tanggal 15 April 2014. “Tidak akan berpengaruh (gugatan, red) terhadap pungutan OJK, kami jalan terus,” kata Nelson.

Hal senada juga diutarakan Wakil Ketua Komisi XI DPR Andi Rahmat. Menurutnya, pungutan OJK tersebut merupakan amanat dari UU OJK. Atas dasar itu, semua industri jasa keuangan yang berkaitan dengan OJK wajib membayar iurannya. “Kalau ada yang puas atau tidak puas, namanya juga pungutan,” kata politisi dari PKS ini.

Untuk profesi penunjang yang kena pungutan, Andi mengatakan, sah-sah saja karena dalam sektor jasa keuangan terdapat profesi yang tidak melekat pada perusahaan atau jabatan yang ada lebih melekat kepada individu. Misalnya agen asuransi, wakil manajer investasi, ataupun konsultan hukum. “Seperti pengacara, pengacara itu punya kantor, tapi pengacaranya sendiri itu merupakan subjek pajak,” katanya.

Setidaknya terdapat ‘lampu hijau’ yang diberikan OJK kepada kantor notaris, kantor konsultan hukum maupun kantor jasa penilai publik. Direktur Pengaturan Pasar Modal OJK Retno Ici menegaskan bahwa, kantor konsultan hukum, kantor notaris maupun kantor jasa penilai publik 
tak kena pungutan 1,2 persen dari nilai kontrak di tiap kegiatan di sektor jasa keuangan.

Alasannya karena salah satu syarat kantor yang terkena pungutan adalah yang memiliki izin, persetujuan, pengesahan dan pendaftaran dari OJK. Selama ini, lanjut Retno, hanya Kantor Akuntan Publik (KAP) yang wajib memiliki izin, persetujuan, pengesahan dan pendaftaran dari OJK. Terlebih lagi, terdapat regulasi yang mengatur keberadaan KAP tersebut, yakni UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik.

“Saat ini tidak ada regulasi di sektor jasa keuangan yang mengatur kantor konsultan hukum, kantor notaris atau kantor apraisal, kecuali KAP,” tutup Retno.




Sumber : 


10 Kriteria Seorang Manajer Akuntansi

            

Gambar tabel diatas tentang 10 Kriteria Seorang Manajer yang dipilih secara voting oleh warga 3 EB 10 berdasarkan peringkat yang dipilih oleh setiap individunya dan hasil akhir setelah anlaisisnya ialah :

1. Integritas
2. Disiplin
3. Bertanggung Jawab
4. Independen
5. Tegas
6. Interpersonal
7. Kemampuan Berorganisasi
8. Kreatif
9. Bekerja Sama
10. Daya Analisis