Bagi
Negara Republik Indonesia,
perdagangan bebas dengan China
ini memberikan dampak positif dan negatif terhadap perekonomian. Dampak
positifnya adalah terbukanya peluang Indonesia
untuk meningkatkan perekonomiannya melalui pemanfaatan peluang pasar yang ada,
dimana produk-produk dari Indonesia
dapat dipasarkan secara lebih luas ke negara-negara ASEAN dan China. China yang memiliki wilayah yang luas, jumlah
penduduk yang banyak, serta pertumbuhan ekonomi yang pesat menjadi pasar yang
potensial untuk mengekspor produk-produk unggulan dari Indonesia ke
negara tersebut. Dengan mengalirnya produk-produk Indonesia
ke negara luar, maka kegiatan industri di Indonesia
menjadi meningkat, sehingga dapat meningkatkan pendapatan negara Indonesia.
Sebaliknya, perekonomian China yang begitu
kuat terfokus pada ekspor menjadi tantangan bagi Indonesia. Ditambah lagi
Pemerintah China yang mendukung penuh perdagangan masyarakatnya telah mampu
untuk menghasilkan produk yang berkualitas, produk yang bervariasi, teknologi
yang maju serta harga yang relatif murah. China yang memiliki keunggulan produk
yaitu pada produk-produk hasil pertanian seperti Bawang putih, bawang merah,
jeruk mandarin, apel, pir, dan leci. Tidak hanya pada bidang pertanian saja
China unggul, namun pada produk hasil industry seperti tekstil, baja,
mainan anak-anak, perkakas rumah tangga, barang-barang elektronik, dan alas
kaki membuat China semakin sulit untuk disaingi dimana mereka memiliki biaya
produksi dan upah buruh yang murah. Sedangkan Indonesia begitu unggul di sector
pertanian saja seperti minyak kelapa sawit (CPO), karet, kokoa, dan kopi.
Kemudian produk yang harus bersaing adalah garmen, elektronik, sektor makanan,
industri baja/besi, dan produk hortikultura.
Dengan demikian produk-produk dari China
tersebut akan mendominasi pasar di Indonesia. Begitu pula produk Indonesia yang
sama dengan produk dari China, namun Indonesia masih kalah bersaing di beberapa
produk tersebut. Walaupun begitu Indonesia masih unggul dalam produk komponen
otomotif, garmen, furniture, dan perlengkapan rumah tangga. Walaupun memiliki
unggulan produk, namun hal tersebut akan menjadikan sebuah tantangan yang berat
bagi Indonesia karena harus bersaing dengan produk lain yang lebih murah dan
berkualitas.
Secara umum, Negara Republik Indonesia
masih tertinggal dari China, hal ini terlihat dari infrastruktur Indonesia yang
jauh tertinggal dari China. Padahal infrastruktur yang baik akan menunjang
dalam menciptakan biaya berproduksi murah yang selanjutnya akan menekan harga
di tingkat konsumen. Infrastruktur yang baik juga sangat membantu dalam
perluasan pasar hingga mencapai tingkat perdagangan ekspor-impor. Hal ini
terlihat dari masih banyaknya jalan-jalan yang rusak dan adanya pungutan liar
sehingga membuat naiknya harga produk-produk yang didistribusikan.
Dalam perdagangan bebas antara Indonesia
dengan China ini, masyarakat memandang ACFTA sebagai ancaman, karena berpotensi
membangkrutkan banyak perusahaan dalam negeri. Perusahaan yang diperkirakan akan mengalami
kebangkrutan tersebut adalah tekstil, mainan anak-anak, furniture, keramik dan
elektronik. Bangkrutnya perusahan tersebut disebabkan karena ketidaksiapan para
pelaku bisnis Indonesia, terutama bisnis menengah dan kecil dalam bersaing.
Pemikiran tersebut didasarkan pada kondisi yang terjadi saat ini, dimana
berbagai produk dari China telah membanjiri pasar Indonesia. Produk dari China
yang masuk ke Indonesia sangat bervariasi dan memiliki harga yang relatif
murah. Sebagai contoh, batik yang merupakan simbol budaya Indonesia telah
dibuat pula oleh Cina. Dimana batik made in China tersebut telah
tersebar di pasar-pasar tradisional atau pusat perbelanjaan grosir. Batik ini
laku di pasaran karena harganya yang begitu murah dibandingkan batik asli
Indonesia dan juga batik ini hampir mirip dengan batik buatan Indonesia. Begitu
pula yang terjadi pada produsen meubel Indonesia yang harus bersaing ketat
dengan produk meubel dari China. Dimana meubel China berbentuk minimalis yang
begitu diminati oleh masyarakat domestik. Ditambah lagi belum ada SNI (Standar
Nasional Indonesia) bagi meubel Indonesia sehingga meubel dari China tersebut
dapat tersebar bebas di Indonesia dan lebih laku.
Secara perlahan ketika kelangsungan UMKM
(Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) seperti batik, tekstil, mainan, kerajinan,
jamu, keramik, meubel, dan lainnya mengalami kebangkrutan maka pekerja lokal
pun akan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga angka pengangguran
akan semakin meningkat. Seperti yang terjadi pada industri petrokimia yang
harus mem-PHK 86.000 karyawannya karena tidak mampu bersaing dengan barang
impor China. Kemudian sebanyak 2.000 industri kecil tekstil yang masing-masing
memperkerjakan antara 12 hingga 50 tenaga kerja terancam tutup. Dengan begitu
masyarakat lebih cenderung kepada produk tekstil dari China yang mempunyai
harga lebih rendah dibandingkan dengan produk lokal. Akibatnya permintaan
domestik terhadap produk tekstil menjadi menurun, sehingga mematikan produsen
tekstil dalam negeri. Hal yang sama juga terjadi pada industri mainan, meubel
dan lainnya.
Sementara itu, dengan diberlakukannya
ACFTA, maka China yang akan memperoleh keuntungan dari ketersediaan sumber daya
alam dan energi Indonesia. Negara China akan memanfaatkan sumber daya alam dan
energi Indonesia itu untuk menggerakkan industri mereka dengan biaya yang murah
dan hasilnya kemudian dipasarkan kembali ke Indonesia.
Masuknya produk China ke Indonesia tidak
hanya berdampak terhadap produk Indonesia, akan tetapi juga berdampak terhadap
kesehatan masyarakat. Beberapa produk China yang masuk ke Indonesia mengandung
racun dan zat yang berbahaya bagi kesehatan, seperti timbal yang terdapat pada
mainan anak-anak. Lalu,
produk yang mengandung susu dimana di dalamnya terdapat melamin. Melamin
ini biasa digunakan pada pembuatan plastik, pupuk, dan pembersih. Kemudian produk makanan berupa jeruk ditemukan mengandung
formalin, dan produk kosmetik juga ditemukan mengandung merkuri atau air raksa
sehingga begitu berbahaya bagi tubuh.
Berbagai permasalahan yang terjadi dengan
masuknya produk dari China ke Indonesia menggambarkan pengaruh negatif
dari ACFTA terhadap industri dan juga kesehatan masyarakat di Indonesia. Oleh
karena itu masyarakat dan para pengusaha industri tidak setuju atas pelaksanaan
ACFTA karena merugikan mereka. Sementara itu pemerintah Republik Indonesia
sampai saat ini masih tetap menjalankan ACFTA, karena dianggap akan dapat
meningkatkan daya saing Indonesia terhadap barang-barang dari China tersebut.
Pendapat saya, saya masih belajar dalam memahami persaingan perdagangan bebas dalam dunia ekonomi jadi yang dapat saya simpulkan semakin banyak barang dagan china di indonesia akan menyebabkan indonesia mengalami penurunan. Dengan kreativitas dan inovasi yang di berikan oleh setiap barang dagang china di indonesia menyebabkan beberapa orang membelinya karena harga yang relatif murah berbeda dengan barang indonesia yang kurang adanya inovasi dan harganya pun tidak semuaa orang mampu memilikinya sehingga produk china laku di indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar